Recomended

AGAINST CORRUPTION COLLUSION & NEPOTISM

"NEGERI MAKMUR TANPA KORUPSI"

Senin, 11 April 2011

ARAH DAN KEBIJAKAN PERTANIAN Bagian 1

ARAH DAN KEBIJAKAN PERTANIAN INDONESIA

(PAPER INI ADALAH TUGAS MATA KULIAH RENCANA TATA RUANG PPW UH, 2007)
Pengantar
Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan PDB, perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian mempunyai efek pengganda kedepan dan kebelakang yang besar, melalui keterkaitan “input-output-outcome” antar industri, konsumsi dan investasi. Hal ini terjadi secara nasional maupun regional karena keunggulan komparatif sebagian besar wilayah Indonesia adalah di sektor pertanian. Namun demikian kinerja sektor pertanian cenderung menurun akibat kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Pembangunan di masa lalu kurang memperhatikan keunggulan komparatif yang dimiliki. Keunggulan komparatif yang dimiliki belum didayagunakan sehingga menjadi keunggulan kompetitif nasional. Akibat dari strategi yang dibangun tersebut maka struktur ekonomi menjadi rapuh. Krisis ekonomi yang lalu memberi pelajaran berharga dari kondisi tersebut. Apabila pengembangan ekonomi daerah dan nasional didasarkan atas keunggulan yang kita miliki maka perekonomian yang terbangun akan memiliki kemampuan bersaing dan berdayaguna bagi seluruh rakyat Indonesia.
Belajar dari pengalaman tersebut, sudah selayaknya strategi pembangunan nasional kembali memperhatikan keunggulan yang dimiliki Indonesia. Untuk itu Kabinet Indonesia Bersatu menetapkan Revitalisaisi Pertanian sebagai salah satu strategi utama pembangunan nasional 2005-2009.
Posisi Pertanian Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia Masa Depan
Posisi pertanian akan sangat strategis apabila kita mampu mengubah pola pikir masyarakat yang cenderung memandang pertanian hanya sebagai penghasil (output) komoditas menjadi pola pikir yang melihat multi-fungsi dari pertanian. Multi-fungsi pertanian meliputi peran sebagai:
a. Penghasil pangan dan bahan baku industri.
Sektor pertanian sangat menentukan dalam ketahanan pangan nasional sekaligus menentukan ketahanan bangsa. Penduduk Indonesia tahun 2025 akan mencapai 300 juta lebih, ketahanan nasional akan terancam bila pasokan pangan kita sangat tergantung dari impor. Dalam proses industrialisasi pertanian juga memproduksi bahan baku industri pertanian seperti sawit, karet, gula, serat, dan lainnya.
b. Pembangunan daerah dan perdesaan.
Pembangunan nasionalakan timpang kalau daerah/perdesaan tidak dibangun, urbanisasi tidak akan bisa ditekan, dan pada akhirnya senjang desa dan kota semakin melebar. Lebih dari 83 persen kabupaten/kota di Indonesia ekonominya berbasis kepada pertanian. Agroindustri perdesaan akan sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi perdesaan terutama dalam penyerapan tenaga kerja.


c. Penyangga dalam masa krisis.
Sektor pertanian yang berbasis sumberdaya lokal terbukti sangat handal dalam masa krisis ekonomi, bahkan mampu menampung 5 juta tenaga kerja limpahan dari sektor industri dan jasa yang terkena krisis; terselamatkan oleh sektor pertanian.
d. Penghubung sosial ekonomi antar masyarakat dari berbagai pulau dan daerah sebagai perekat persatuan bangsa.
Masing-masing pulau/daerah memiliki keunggulan komparatif yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan keunggulan masing-masing.Perdagangan (trade)Antar pulau ini akan meningkatkan efisiensi ekonomi dengan melakukan spesialasisasi masing-masing daerah. Saling ketergantungan antara daerah menjadi jaminan pengembangan ekonomi daerah dan mempererat persatuan antar daerah.
e. Kelestarian sumberdaya lingkungan.
Kegiatan pertanian berperan dalam penyagga, penyedia air, udara bersih, dan keindahan. Pada haketnya pertanian selalu menyatu denganalam. Membangun pertanian yang berkelanjutan (sustainable) berarti juga memelihara sumberdaya lingkungan. Agrowisata merupakan contoh yang ideal dalam multi-fungsi pertanian.
f. Sosial budaya masyarakat Usaha pertanian berkaitan erat dengan sosial-budaya dan adat istiadat masyarakat.
Sistemsosial yang terbangun dalam masyarakat pertanian telah berperan dalam membangun ketahanan pangan dan ketahanan sosial, seperti lumbung pangan, sistem arisan dan lainnya.
g. Kesempatan kerja, PDB, dan devisa.
Lebih dari 25,5 juta keluarga atau 100 juta lebih penduduk Indonesia hidupnya tergantung pertanian. Sektor pertanian menyerap 46,3%tenaga kerja dari total angkatan kerja, menyumbang 6,9% dari total ekspor non migas, dan memberikan kontribusi sebesar 15 persen PDB nasional.
Arah Masa Depan Kondisi Petani Indonesia
Transformasi struktur perekonomian yang terjadi menunjukkan bahwa peran pertanian dalam pembangunan nasional terus menurun, namun tidak diikuti oleh bebannya dalam penyerapan tenaga kerja. Hal ini berakibat produktivitas pertanian menurun dan semakin senjang dibanding sektor diluar pertanian, terutama sektor jasa dan industri . Indikator tersebut tercermin dari produktivitas pertanian. Dalam tahun 1993-2003 jumlah petani gurem (dengan luas garapan kurang dari 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta KK menjadi 13,7 juta KK (meningkat 2,6% per tahun). Hal ini menunjukkan terjadinya marjinalisasi pertanian sebagai akibat langsung dari kepadatan penduduk. Sementara itu luas lahan semakin berkurang dan perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian terbatas. Jumlah rumah tangga petani (RTP) menurut Sensus Pertanian (SP) 2003 mencapai 25,58 juta RTP. Sekitar 40 persen RTP tergolong tidak mampu dan 20 persen diantaranya dikepalai oleh perempuan. Pada daerah dimana tingkat migrasi tenaga kerja laki-laki tinggi, beban kerja sektor pertanian bergeser kepada tenaga kerja perempuan dan kelompok lanjut usia.
Pada bagian lain kualitas SDM pertanian juga rendah. Menurut data BPS tahun 2002, tingkat pendidikan tenaga kerja pertanian yang tidak sekolah dan tidak tamat SD sebesar 35 persen, tamat SD 46 persen, dan tamat SLTP 13 persen. Dibandingkan dengan sektor non pertanian pada tahun yang sama, tingkat pendidikan tenaga kerja yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD 31 persen, tamat SLTP sekitar 20 persen, dan tamat SLTA 27 persen.
Tingginya tingkat pendidikan di sektor non pertanian ini sebagian besar berasal dari mereka yang melakukan urbanisasi atau yang meninggalkan sektor pertanian di perdesaan. Dilihat dari karakter komoditas dan jenis usaha yang dilakukan oleh petani, kegureman tidak selalu identik dengan luas penguasaan lahan. Kegureman petani secara umum terkait dengan keterbatasan akses mereka terhadap berbagai sumberdaya pertanian (lahan, air, informasi, teknologi, pasar, modal, dll). Sejalan dengan itu peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani dapat dilakukan melalui:
a) peningkatan skala usaha sesuai dengan sifat komoditasnya. Misalnya untuk petani pangan luas lahan minimal 1 hektar per petani di Jawa-Bali dan 2,5 hektar per petani di luar Jawa-Bali
b) pengusahaan komoditas sesuai dengan permintaan pasar
c) diversifikasi usaha rumahtangga melalui pengembangan agroindustri perdesaan dengan kegiatan non-pertanian
d) pengembangan kelembagaan penguasaan saham petani untuk sektor hulu maupun hilir
e) kebijakan perlindungan bagi petani dan usahanya.

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia
Sumberdaya utama dalam pembangunan pertanian adalah lahan dan air. Akses sektor pertanian terhadap sumber daya tersebut dihadapkan kepada berbagai masalah, seperti:
a) terbatasnya sumberdaya lahan dan air yang digunakan,
b) sempitnya luas lahan pertanian per kapita penduduk Indonesia (900 m2/kapita),
c) banyaknya petani gurem dengan luas lahan garapan perkeluarga petani kurang dari 0,5 ha, (d) tingginya angka konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian dan tidak terjaminnya status penguasaan lahan (land tenure).
Sumberdaya lahan yang dipergunakan untuk produksi pertanian relatif terbatas. Dalam dekade terakhir luas lahan pertanian sekitar 17,19 persen dari total lahan, yang terdiri dari 4,08 persen untuk areal perkebunan; 4,07 persen untuk lahan sawah; 2,83 persen untuk pertanian lahan kering dan 6,21 persen untuk lading berpindah. Tingkat pemanfaatan lahan sangat bervariasi antar daerah. Perkembangan luas lahan pertanian, terutama lahan sawah dan lahan kering (tegalan), sangat lambat, kecuali dibidang perkebunan terutama untuk kelapa sawit.
Peningkatan jumlah penduduk tahun 2000-2003 sekitar 1,5 persen per tahun menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air. Luas rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani. Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada tahun 2003 dengan rata-rata peningkatan jumlah petani gurem sekitar 2,4 persen per tahun.
Konversi lahan pertanian terutama terjadi pada lahan sawah yangberproduktivitas tinggi menjadi lahan permukiman dan industri. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lahan sawah dengan produktivitas tinggi, seperti di jalur pantai utara Pulau Jawa dan di sekitar Bandung, mempunyai prasarana yang memadai untuk pembangunan sektor non pertanian. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun. Luas baku lahan sawah juga cenderung menurun. Antara tahun 1981-1999,
neraca pertambahan lahan sawah seluas 1,6 juta ha. Namun antara tahun 1999 sampai 2002 terjadi penciutan luas lahan sawah seluas 0,4 juta ha karena tingginya angka konversi
Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa terdapat sekitar 9 juta ha lahan terlantar yang dewasa ini ditutupi semak belukar dan alang-alang. Pemanfaatan lahan yang berpotensi ini secara bertahap akan dapat mengantarkan Indonesia tidak saja berswasembada produk pertanian, tetapi juga berpotensi untuk meningkatkan volume ekspor, apalagi jika insentif untuk petani dapat ditingkatkan. Di samping itu, sekitar 32 juta ha lahan, terutama di luar Pulau Jawa, sesuai dan berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem.
Seperti halnya sumberdaya lahan, sumberdaya air juga semakin terbatas dan mengalami degradasi. Pertumbuhan penduduk dan industrialisasi telah menimbulkan kompetisi penggunaan antara pertanian dan non-pertanian. Pada kondisi demikian maka penggunanan air untuk pertanian selalu dikorbankan sebagai prioritas terakhir.
Pada bagian lain dalam dekade terkhir perhatian untuk memelihara jaringan irigasi bagi mempertahankan efisiensi penggunaan air juga menurun yang berakibat kepada penurunan intensitas tanam dan produktifitas pertanian. Untuk itu peningkatan dan rehabilitasi jaringan irigasi merupakan langkah bagi peningkatan produktifitas pertanian.
Untuk itu, dalam rangka revitalisasi pertanian, pengembangan lahan pertanian dapat ditempuh melalui: (i) reformasi keagrariaan untuk meningkatkan akses petani terhadap lahan dan air serta meningkatkan rasio luas lahan per kapita, (ii) pengendalian konversi lahan pertanian dan pencadangan lahan abadi untuk pertanian sekitar 15 juta ha, (iii) fasilitasi terhadap pemanfaatanlahan (pembukaan lahan pertanian baru), serta (iv) penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan sebagai penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan
serta kesejahteraan keluarga petani


Arah Masa Depan Produk dan Bisnis Pertanian
Dalam kurun waktu yang panjang pembangunan pertanian selalu diidentikkan dengan kegiatan produksi usahatani semata (proses budidaya atau agronomi), sehingga hasil pertanian identik dengan komoditas primer. Kegiatan pertanian masa lalu lebih berorientasi kepada peningkatan produksi komoditas primer dan kurang memberi kesempatan untuk memikirkan pengembangan produk hilir. Dari sisi kebijakan, pembangunan pertanian cenderung terlepas dari pembangunan sektor lain, kebijakan di bidang pertanian tidak selalu diikuti oleh kebijakan pendukung lain secara sinergis.
Pembinaan pembangunan pertanian tersekat-sekat oleh banyak institusi, sehingga kebijakan sering tidak sinkron antar lembaga terkait akibat perbedaan kepentingan dari masing-masing sektor. Selama ini kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih banyak diperoleh dari produk segar (primer) yang relative memberi nilai tambah kecil dan belum mengandalkan produk olahan (hilir) yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar, walaupun pada akhir-akhir ini ekspor produk olahan telah semakin besar. Dengan mengespor produk primer, maka nilai tambah yang besar akan berada di luar negeri, padahal sebaliknya bila
Indonesia mampu mengekspor produk olahannya, maka dilai tambah terbesarnya akan berada di dalam negeri. Belajar dari kelemahan tersebut, sejak Pelita VI pembangunanpertanian dilakukan melalui pendekatan agribisnis, yang pada hakekatnya menekankan kepada tiga hal, yaitu:
(1) pendekatanpembangunan pertanian ditingkatkan dari pendekatan produksi ke pendekatan bisnis, dengan demikian aspek usaha dan pendapatan menjadi dasar pertimbangan utama,
(2) pembangunan pertanian bukan semata pembangunan sektoral, namun juga terkait dengan sektor lain (lintas/inter-sektoral),
(3) pembangunan pertanian bukan pengembangan komoditas secara parsial, melainkan sangat terkait dengan pembangunan wilayah, khususnya perdesaan yang berkaitan erat dengan upaya peningkatan pendapatan petani.
Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, dan bukan lagi pengembangan komoditas dan lebih difokuskan pada pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk plahan, baik produk antara (intermediate product), produk semi akhir (semi finished product) dan yang utama produk akhir (final product) yang berdayasaing. Untuk itu, salah satu strategi pembangunan pertanian ke depan
adalah pengembangan agroindustri perdesaan.
Pengembangan agroindustri perdesaan merupakan pilihan strategis dalam meningkatkan pendapatan dan sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Selama ini masyarakat perdesaan cenderung menjual produk dalam bentuk segar (primer), karena lokasi industri umumnya berada di daerah urban (semi-urban). Akibatnya, nilai tambah produk pertanian lebih banyak mengalir ke daerah urban, termasuk menjadi penyebab terjadinya urbanisasi.
Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan agroindustri perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan melalui upaya peningkatan nilai tambah dan dayasaing hasil pertanian.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pengembangan agroindustri perdesaan diarahkan untuk:
a) mengembangkan kluster industri, yakni industri pengolahan yang terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya,
b) mengembangkan industri pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar, dan
c) mengembangkan industri pengolahan yang punya dayasaing tinggi untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Agenda utama pengembangan agroindustri perdesaan adalah penumbuhan agroindstri untuk membuka lapangan kerja di perdesaan, dengan kegiatan utama:
a) Fasilitasi penerapan teknologi dan sarana pengolahan hasil pertanian di sentra-sentra produksi;
b) Pengembangan infrastruktur penunjang di perdesaan seperti listrik, jalan akses, dan komunikasi;
c) Pengembangan akses terhadap permodalan;
d) Peningkatan mutu, efisiensi produksi dan pemasaran. Dalam rangka pengembangan produk hilir produk pertanian yang berdayasaing, inovasi teknologi yang berorientasi pasar dan berbasiskan sumberdaya domestik menjadi prasyarat keberhasilan pengembangan produk hilir pertanian ke depan.
Dalam rangka mendorong terjadinya inovasi proses hilir produk pertanian yang bernilai tambah tinggi dan berdayasaing, dukungan berbagai kebijakan makro ekonomi sangat diperlukan. Disamping itu, pengembangan teknologi pengolahan dan produk pada produk hilir diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi pengolahan untuk menghasilkan diversifikasi produk, dan meminimumkan kehilangan hasil.
Dalam rangka pengembangan produk (porduct development) baru seperti pengembangan berbagai jenis industri oleo-pangan dan industri oleo-kimia akan didorong pengembangannya. Demikian pula pengembangan industri pengolahan karet lanjutan sepeti industri ban otomotif and barang jadi lain dari karet, pengembangan industri farmasi (tanaman obat-obatan), dan industri pengolahan berbasis hortikultura akan terus dikembangkan. Dalam rangka peningkatan dayasaing produk pertanian, disamping pengembangan produk hilir, ke depan pengembangan produk hulu juga didorong pertumbuhannya.
Pengembangan industri perbibitan/perbenihan merupakan prasarat peningkatan dayasaing produk pertanian. Demikian juga pengembangan industri agrokimia dan alat serta mesin pertanian. Secara umum sasaran pembangunan pertanian jangka panjang (2025) adalah:
a. terwujudnya pertanian industrial yang berdaya saing;
b. mantapnya ketahanan pangan secara mandiri;
c. tercapainya kesempatan kerja penuh bagi masyarakat pertanian;
d. terhapusnya kemiskinan di sektor pertanian dan tercapainya pendapatan petani sebesarUS $ 2500/kapita/tahun.

STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Strategi Umum dan Kebijakan
Strategi dan kebijakan pembangunan pertanian 2005-2009 disusun berlandaskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Agenda pembangunan ekonomi dalam RPJMN yang terkait dengan pembangunan pertanian, antara lain:
a. revitalisasi pertanian,
b. peningkatan investasi dan ekspor non-migas;
c. pemantapan stabilisasi ekonomi makro;
d. penanggulangan kemiskinan;
e. pembangunan perdesaan; dan
f. perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Revitalisasi pertanian antara lain diarahkan untuk meningkatkan:
a) kemampuan produksi beras dalam negeri sebesar 90-95 persen dari kebutuhan;
b) diversifikasi produksi dan konsumsi pangan;
c) ketersediaan pangan asal ternak;
d) nilai tambah dan dayasaing produk pertanian;
e) produksi dan ekspor komoditas pertanian. Strategi umum untuk mencapai Tujuan dan sasaran pembangunan pertanian adalah sebagai berikut:
a. Melaksanakan manajemen pembangunan yang bersih, transparan dan bebas KKN.
b. b.Meningkatkan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan manajemen pembangunan pertanian.
c. Memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan.
d. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan memberdayakan SDM pertanian.
e. Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian.
f. Meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna.
g. Mempromosikan dan memproteksi komoditas pertanian.
Arah kebijakan yang perlu ditempuh dalam pembangunan pertanian jangka panjang adalah:
a) Membangun basis bagi partisipasi petani;
b) Meningkatkan potensi basis produksi dan skala usaha pertanian;
c) c.Mewujudkan pemenuhan kebutuhan sumberdaya insani pertanian yang berkualitas;
d) Mewujudkan pemenuhan kebutuhan infrastruktur pertanian:
e) Mewujudkan sistem pembiayaan pertanian tepat guna;
f) Mewujudkan sistem inovasi pertanian;
g) Penyediaan sistem insentif dan perlindungan bagi petani;
h) h.Mewujudkan system usahatani bernilai tinggi melalui intensifikasi, diverdifikasi dan pewilayahan pengembangan komoditas unggulan;
i) Mewujudkan Agroindustri berbasis pertanian domestik di pedesaan;
j) Mewujudkan system rantai pasok terpadu berbasis kelembagaan pertanian yang kokoh;
k) Menerapkan praktek pertanian dan manufaktur yang baik; dan
l) Mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berpihak kepada petani dan pertanian.
Banyak kebijakan dan strategi yang terkait langsung dengan pembangunan pertanian, namun kewenangannya berada diberbagai instansi lain. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal,kebijakan pengembangan industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional, kebijakan pengembangan infrastruktur khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk didalamnya lembaga keuangan, fungsi penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM, dan pengembangan organisasi petani), kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi sumberdaya alam dan lingkungan, kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru, dan kebijakan pengembangan ketahananpangan.

Beberapa kebijakan strategis yang perlu ditekankan dan memerlukan penanganan segera yaitu:
a) Kebijakan ekonomi makro yang kondusif yaitu inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil dam suku bungan riil positif.
b) Pembangunan infrastruktur pertanian meliputi pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi, perluasan lahan pertanian terutama di luar Jawa, pencegahan konversi lahan terutama di Jawa, pengembangan jalan usahatani dan jalan produksi serta infrastruktur lainnya.
c) Kebijakan pembiayaan untuk mengembangkan lembagakeuangan yang khusus melayani sektor pertanian, lembaga keuangan mikro, pembiayaan pola syaraiah, dan lainnya.
d) Kebijakan perdagangan yang memfasilitasi kelancaran pemasaran baik di pasar dalam negeri maupun ekspor. Selain itu, untuk melindungi sektor pertanian dari persaingan di pasar dunia, diperlukan: (a) memperjuangkan konsep Strategic Product (SP) dalam forum WTO; (b) penerapan tarif dan hambatan non-tarif untuk komoditas-komoditas beras, kedelai, jagung, gula, beberapa produk hortikultura dan peternakan.
e) Kebijakan pengembangan industri yang lebih menekankan pada agroindustri skala kecil di perdesaan dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petanai.
f) Kebijakan investasi yang kondusif untuk lebih mendorong minat investor dalam sektor pertanian.
g) Pembiayaan pembangunan yang lebih memprioritaskan anggaran untuk sector pertanian dan sektor-sektorpendukungnya.
h) Perhatian pemerintah daerah pada pembangunan pertanian meliputi: infrastuktur pertanian, pemberdayaan penyuluh pertanian, pengembangan instansi lingkup pertanian, menghilangkan berbagai pungutan yang mengurangi dayasaing pertanian, serta alokasi APBD yang memadai.

Beberapa kebijakan yang langsung terkait dengan sektor pertanian dan dalam kewenangan atau memerlukan masukan dari Departemen Pertanian adalah:
a. Kebijakan dalam pelaksanaan manajemen pembangunan yang bersih, transparan, dan bebas KKN, diarahkan untuk menyusun kebijakan peningkatan kesejahteraan pegawai disertai penerapan reward and punishment secara konsisten.
b. Kebijakan dalam peningkatan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan manajemen pembangunan pertanian, diarahkan untuk: (a) peningkatan keterbukaan dalam perumusan kebijakan dan manajemen pembangunan pertanian, (b) peningkatan evaluasi, pengawasan, dan pengendalian manajemen pembangunan pertanian, (c)penyelarasan pembangunan pertanian antar sektor dan wilayah.
c. Kebijakan dalam memperluas dan meningatkatkan basis produksi secara berkelanjutan diarahkan untuk: (a) peningkatan investasi swasta, (b) penataan hak, kepemilikan dan penggunaan lahan, (c) kebijakan pewilayahan komoditas, dan (d) penataan sistem pewarisan lahan pertanian.
d. Kebijakan dalam meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian diarahkan untuk: (a) menyusun kebijakan revitalisasi penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan pertanian, (b) peningkatan peran serta masyarakat, (c) peningkatan kompetensi dan moral aparatur pertanian, (d) penyelenggaraan pendidikan pertanian bagi petani, dan (e) pengembangan kelembagaan petani.
e. Kebijakan dalam meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian diarahkan untuk: (a) pengembangan sarana dan prasarana usaha pertanian, (b) pengembangan lembaga keuangan perdesaan, (c) pengembangan sarana pengolahan dan pemasaran.
f. Kebijakan dalam meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna diarahkan untuk: (a) merespon permasalahan dan kebutuhan pengguna, (b) mendukung optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian spesifik lokasi, (c) pengembangan produk berdayasaing, (d) penyelarasan dan integrasi dengan penguasaan IPTEK pertanian, dan (e) percepatan proses dan perluasan jaringan diseminasi dan penjaringan umpan balik inovasi pertanian.
g. Kebijakan dalam meningkatkan promosi dan proteksi komoditas pertanian, diarahkan untuk: (a) menyusun kebijakan subsidi tepat sasaran dalam sarana produksi, harga output, dan bunga kredit untuk modal usahatani (b) peningkatan ekspor dan pengendalian impor, (c) kebijakan penetapan tarif impor dan pengaturan impor, (d) peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha, (e) perbaikan kualitas dan standardisasi produk melalui penerapan teknologi produksi, pengelolaan pascapanen dan pengolahan hasil, dan (f) penguatan sistem pemasaran danperlindungan usaha.


bersambung.........

1 komentar :

di daerah saya,harga produk yang dihasilkan menjadi kecil,contoh penghasil karet yang semulanya pernah mempunyai nilai tinggi kini menjadi sangat rendah.ini bisa mengakibatkan para petani malas untuk bekerja lagi...mengapa hal ini bisa terjadi,terus bagaimana tanggapan pemerintah mengatasi soal ini?

Posting Komentar