Recomended

AGAINST CORRUPTION COLLUSION & NEPOTISM

"NEGERI MAKMUR TANPA KORUPSI"

Senin, 11 April 2011

ARAH DAN KEBIJAKAN PERTANIAN bagian 3


Arahan Pengelolaan Kawasan Pertanian
Pengelolaan kawasan pertanian diarahkan pada pembangunan kawasan sentra produksi yang dapat memadukan pembangunan pertanian dan pembangunan industri. Agar suatu kawasan pertanian dapat tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan dan berkelanjutan sebagai suatu sentra produksi, yang diandalkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan pendapatan masyarakat maka harus memenuhi persyaratan wilayah yang dijadikan criteria sentra produksi.
1. Wilayah yang memilikipotensi dan kemampuan daya dukung untuk menunjang fungsi kawasan sebagai sentra produksi. Ketersediaan luas dan kualitas lahan dapat mendukung kegiatan pembangunan secara menyeluruh dalam kawasan. Potensi fisik dan agriklimatologi untuk mendukung fungsi kawasan.
2. Ketersediaan fasilitas infrastruktur dan aksesibilitas kawasan untuk mendukung peningkatan produksi kawasan secara berkelanjutan.
3. ketersediaan pengadaan air bersih/air baku untuk menunjang kelangsungan pembangunan kawasan dalam jumlah yang sesuai dengan jangka waktu tertentu.
4. ketersediaan fasilitas drainase, system drainase yang dapat mengelolah limbah menjadi bahan yang tidakmenggangu lingkungan.
5. kesiapan dan ketersediaan sumber daya manusia sebagai pelaku pelaksana pembangunan dalam hal ini kesiapan petani dalam penguasaan teknologi pembudidayaan,pengelolaan, dan pemasaran.
6. kondisi serta kepastian berusahaberupa perlindungan bagi pengembangan bisnis dan industri yang terkait dengan fungsi kawasan secara luas.
7. kemudahan dan keterbukaan begi pengembanganlembaga permodalan dan lembaga ekonomi dalam mendukung kawasan secara mikro maupun makro secara berkelanjutan.
Pendekatan sektoral dalam pengelolaan kawasanpertanian diupayakan untuk meningkatkan optimalisasi penggunaan ruang dan sumber daya wilayahdalam hubungan dengan pemanfaatan,produktivitas, dan kelestarian lingkungan. Luas lahan sawah di Wilayah propinsi Sulawesi Selatan 650.756 Ha yang tersebar diseluruh kabupaten, dengan proporsi luasan terbesar beraaada di daerah BOSOWASIPILU yang merupakan sentra pengembangan pertanian lahan basah. Luas lahan kering (tegalan/kebun) mencaapai 615.649 ha, luas lahan perkebunan 406.576 ha dengan proporsi luasan terbesar berada di dareah MADUTORA dan MANDALU, luas lahan untuk tambakempang 67.487 ha dan untuk padang rerumputan 665.798 ha.

ANALISIS KEBIJAKAN
EVALUASI KINERJA GERBANG EMAS

Gerbang Emas adalah singkatan dan Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat, yaitu suatu program pembangunan Pemerinlah Propinsi Sulawesi Selatan dalam bidang ekonomi kerakyatan, khususnya bagi masyarakat pertanian dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. Program ini merupakan kelanjutan sekaligus melengkapi program-program pembangunan terdahulu, dengan tltik berat pada aspek produksi, pengolahan dan pemasaran dalam satu sistem yang terintegrasi.
Ruang lingkup pelaksanaan Gerbang Emas ferdiri dan 3 aspek utama, yaitu:
1. Substansi, yaitu meliputi 11 (sebelas) komoditi unggulan di Sulawesi Selalan, yaitu:1)Padi, 2)Jagung, 3)Kakao, 4)Kopi, 5)Kelapa, 6)Lebah Madu, 7)Sapi Perah, 8)Rumpu laut, 9)Garam, 10)Sutra dan 11)Souvenir.
2. Aktifitas, yaitu mulai dan kegiatan hulu (budidaya) hingga hilir (pengolahan dan pemasaran).
3. Stakeholder, yaitu melibatkan seluruh pihak terkait, masyarakat petani, dunia usaha distribusi dan pemasaran

AGROINDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA TERPADU
Luas areal tanaman Kelapa di Sulawesi Selatan mencapai139.778 Ha terdiri dari tanaman Kelapa Hybrida dan Kelapa dalam/lokal dengan jumlah produksi 184.114 Ton atau rata-rata produktifitas 1.615 kg/ha, melibatkan 267.273 KK. Sedangkan Kabupaten Pinrang luasnya 13.546 Ha, produksi 13.686 ton, produktifitas kelapa lokal 1.331 kg/ha, Kelapa Hybrida 1.377 kg/ha melibatkan petani 16.651 KK rata-rata kepemilikan 1,23 ha/kk, karena tanaman Kelapa adalah komoditi sosial. Maka semua daerah di Sulawesi Selatan ini memiliki tanaman Kelapa.
Sentra pengembangan Kelapa di Sulawesi Selatan terutama pada daerah pesisir pantai yaitu Kabupaten Selayar, Luwu Utara, Luwu, Bone, Pinrang, Bulukumba dan Wajo. Namun tidak berarti di kabupaten lain tidak ada tetapi luas arealnya kurang dari 7.500 Ha.
Menurut data statistik Dinas Perkebunana Tahun 2005 menunjukkan tingkat pendapatan petani Kelapa hanya sebesar Rp 1.171.960/Ha/Thn, jika dibanding dengan petani yang mengusahakan komoditas Kakao, Kelapa Sawit, Kopi Arabika dan Vanili yang memperoleh pendapatan rata-rata diatas Rp 9.500.000/Ha/Thn. Upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani melalui program diversifikasi tanaman dengan tanaman Kakao dan tanaman lainnya, belum dapat memberi tambahan pendapatan yang layak, hal ini disebabkan beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, Komoditas kelapa yang dimanfaatkan hanya dagingnya saja, sedang bagian lainnya yang juga cukup bernilai ekonomi beelum dimanfaatkan seperti : Tempurung, sabutnya dan airnya dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi 1 (satu) biji kelapa terdiri dari 32%, tempurung 24%, sabut 28% dan air 16%, sehingga jika petani hanya mengolah menjadi kopra/minyak makan maka nilai yang diterima hanya 32%.
Kedua, Produktifitas/produksi rata-rata/ha sangat rendah yaitu hanya 1.615 Kg/Ha atau hanya sekitar 45% dari potensi produksi dari tanaman kelapa.
Ketiga, Tanaman kelapa yang diusahakan oleh petani dibudidayakan dengan sangat sederhana karena tanaman kelapa hanya usaha sambilan.
Melihat berbagai kendala dan masalah yang dihadapi oleh petani kelapa maka salah satu alternatif untuk membantu petani kelapa dalam meningkatkan pendapatannya memanfaatkan bagian lain dari biji kelapa (teempurung, sabut dan air), dengan pengolahan kelapa terpadu (Diversifikasi Produk). Sehingga pengolahan kelapa terpadu direncanakan pada proyek ini pada daerah yang memiliki potensi kelapa yaitu di Kab. Pinrang sebagai salah satu Sentra Pengembangan Tanaman Kelapa di Sulawesi Selatan.
Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas) bertujuan untuk dapat menjawab issu pokok yang menjadi kendala dan masalah dalam pemberdayaan ekonomi petani khususnya petani perkebunan, antara lain :
1. Mengevaluasi kelayakan pembangunan Agroindustri Pengolahan Kelapa Terpadu ditinjau dari berbagai aspek, misalnya aspek teknis, sosial ekonomi, lingkungan dan keuangan.
2. Membangun adanya sinergitas antara pelaku ekonomi yaitu petani, koperasi Perkebunan dan Investor/Swasta yaitu membentuk perusahaan patungan sebagai salah satu pola kemitraan yang saling menguntungkan.
3. Memberdayakan potensi daerah dalam memperkuat kemandirian lokal satu wilayah.
Pengembangan Agroindustri Pengolahan Kelapa Terpadu, diharapkan dapat memberi nilai tambah kepada petani kelapa dengan mengolah dan memanfaatkan semua bahagian dari biji kelapa, dengan kapasitas terpasang mesin 100.000 biji kelapa (segar)/hari, atau dengan luasan 45 - 50 Ha/hari atau 3.500 s/d 4.000 Ha/Thn, dapat melibatkan 3.000 – 3.500 KK petani kelapa dan memanfaatkan tenaga kerja antara 800 – 850 orang/hari. Maka perlu disusun langkah-langkah sebagai berikut :
1. Identifikasi potensi antara lain : Tanaman kelapa, jumlah pohon, jumlah petani, jumlah kelembagaan petani (Klp Tani, Koperasi Komoditi Kelapa).
2. Mengadakan Sosialisasi terhadap rencana proyek, kepada petani dan instansi yang terkait.
3. Secara bersama-sama (petani/Kop. Swasta dan Investor) membentuk Perseroan (Perusahaan) PT. PATUNGAN.
4. Menumbuhkan/memperkuat kelembagaan petani melalui Dinamika Manajemen Usaha Tani, Manajemen Keuangan.
5. Merumuskan Kerjasama Perusahaan yang terbentuk dengan Perbankan melalui Memorandum of Understanding (M O U).
Out-put : yang diharapkan yaitu terlaksananya pembangunan pengolahan kelapa terpadu di Kabupaten Pinrang Kecamatan Duapanua.
Out-come : yaitu tersedianya alat pengolahan kelapa terpadu yang dapat menjamin ketersediaan kebutuhan pangan (minyak goreng) dan produk kelapa lainnya.
Benefit : - Fluktuasi harga biji kelapa petani dapat dihindari.
Tersedianya Stok Minyak Goreng di Sulawesi Selatan.
Meningkatnya mutu jenis, dan jumlah hasil olahan komoditi kelapa.
Kepastian hukum dalam berinvestasi terjaga.
Kepastian pemasaran hasil produksi terjamin.
Petani kelapa mendapatkan nilai tambah yang cukup besar.
Menyerap tenaga kerjan baik petani kelapa maupun penduduk disekitar pabrik sebagai tenaga kerja di pabrik.
Infact : - Meningkatnya Pendapatan dan daya beli petani.
- Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik dari pajak maupun retribusi lainnya dapat meningkat.
- Meningkatnya devisa negara dari hasil ekspor hasil olahan kelapa.
- Tumbuhnya Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIM-BUN) Kelapa
Metode pengembangan model kelapa yang diterapkan yaitu dengan melalui pola patungan (kemitraan), antara pelaku ekonomi petani/Koperasi, dan swasta (Investor). Model patungan ini diharapkan dapat bersinergitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan Pendapatan Asli Daerah, selain itu jaminan Teknologi dan jaminan Pasar dapat teratasi.
Sumber pembiayaan untuk pengembangan Agroindustri kelapa terpadu, yaitu :
Petani/Koperasi Komoditi, Untuk Modal Kerja (pembelian Biji Kelapa sebesar Rp 750.000.000,-) Bank Pembangunan Daerah (BPD) Provinsi Sulawesi Selatan. Swasta/Investor dari dana sendiri, untuk pembelian mesin pabrik, bangunan dan modal kerja, pembelian Kelapa Biji sebesar Rp 4.500.000.000,-





EKSPOSE PROGRAM KEGIATAN GERBANG EMAS
POLA KEMITRAAN PADI DI KABUPATEN SIDRAP
Sharing Risk
Sharink Risk Terhadap Kredit Ketahanan Pangan (Kkp) Pola Kemitraan Padi Telah Diatur Dalam Perjanjian Kerjasama Nomor : 520 / 44 / Ekon Tanggal 05 Januari 2006.
Sharing Risk Masing-Masing Stake Holders
Askrindo 50 %
Masing-Masing Penyedia Kredit 12,5%
Pt. Pupuk Kaltim 12,5 %
Pt. Gresik Cipta Sejahtera 12,5%
Pt. Sang Hyang Seri 12,5%
Mekanisme Sharing Risk
1. Pihak Penyedia Kredit ( Bri Dan Bukopin) Membayarkan Premi (Pertanggungan) Sebesar 1,5% Dari Total Kkp Yang Direalisasikan.
2. Premi Pertanggungan (Asuransi) Tersebut Dibayarkan Kepada Pihak Askrindo Setelah Kkp Tersalur Kepada Kelompok/Koperasi.
3. Stakeholders (Askrindo, Shs, Pkt, & Gcs) Akan Membayarkan Sharing Risk Jika Terjadi Kegagalan Panen (Puso) Kepada Pihak Penyedia Kredit. Kegagalan Panen Dimaksud Berpedoman Pada Ketentuan Bank Indonesia.
4. Petani Sama Sekali Tidak Dibebankan Terhadap Premi Yang Dibayarkan Bank Kepada Askrindo. Begitu Juga Jika Tjd Puso
Gagal Panen/Puso
1. Masing-Masing Stake Holders Membayarkan Sharing Risk Berdasarkan Kesepekatan Dalam Perjanjian Kerjasama.
2. Nilai (Uang) Sharing Risk Dibayarkan Kepada Pihak Penyediah Kkp ( Pokok + Bunga+ Denda).
Pelaksanaan Pola Kemitraan Terkait Dgn Sharing Risk
Pola Kemitraan Padi Telah Berjalan 4 Musim Tanam Terhitung Mulai Mt. 2004/2005, Mt, 2005, Mt.2005/2006 Dan Mt. 2006. Dan Sekarang Memasuki Mt. 2006/2007.
Kelompok Pola Kemitraan Tidak Pernah Mengalami Kegagalan/Puso.
Estimasi Premi Yang Diserahkan Oleh Pihak Bank Kepada Pihak Askrindo Mencapai ± Rp. 200.000.000
Catatan-Catatan
Kondisi Areal Pertanaman Pola Kemitraan Padi Adalah Areal Irigasi Tekhnis, Sehingga Diperakirakan Resiko Kegagalannya Sangat Kecil.
Apakah Stake Holders Mampu Memberikan Perlakuan Sharing Risk Thdp Komoditi Ataukah Areal Yang Rentang Dgn Kegagalan ?


KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN BANTAENG
Penanaman jagung di Sulawsi Selatan sebagiain besar dilakukan pada priode Bulan November – Maret seluas +- 214.500 Ha dan Bulan Juli – September seluas -+ 126.500 Ha dari potensi tanam seluas 446.500 Ha. Jagung merupakan komoditas yang peranannya semakin penting dalam beberapa tahun terkahir baik sebagai bahan industri makanan maupun sebagai bahan baku pakan ternak. Gambaran kebutuhan jagung untuk pakan ternak pada tahun 1999 sebanyak 2.642 juta ton dan tahun 2000 meningkat menjadi 3.921 juta ton.
Jagung ditanam pada periode tertentu dalam satu musim tanam, sehingga panen raya hampir bersamaan waktunya. Di Sulawesi Selatan ada dua periode puncak panen yaitu Bulan Juli – September dengan perkiraan produksi 333.485 ton dan Bulan November – Maret dengan perkiraan produksi 565.476 ton. Kondisi ini memerlukan dana besar dan penampungan hasil produksi jagung petani.
Potensi Jagung di Sulsel
A. Iklim
1. Pola curah hujan Pantai Barat (PCHPB)
- Tanam April – Juni (MK 1 ) Lahan sawah irigasi
- Tanam Juli – September (MK 2 )Lahan sawah dgn pompanisasi
- Tanam Desember – pebruari (MH) Lahan kering
2. Pola curah hujan pantai timur (PCHPT)
- Tanaman November – Januari (MH 10 Lahan sawah tadah hujan dan lahan kering
- Tanam April – Juni (MH 2) Lahan kering
- Tanam Juli – September (MK) Lahan sawah irigasi
3. Pola curah hujan peralihan (PCHP)
- Tanam September – November (MP) Lahan sawah irigasi
B. Lahan
Potensi area jagung di Sulsel sebesar 446.500 Ha, jika dapat dioptimalkan maka Sulawesi Selatan mampu menjadi penghasil jagung yang besar dengan kapasitas antara 1.263 – 1.365 juta ton/tahun dengan tingkat produktivitas antara 27.75 – 30.00 kw/ha. Untuk sentra Gerbang Emas jagung ini dilakukan di Kabupaten bantaeng, ditiga Kecamatan yaitu kecamatan Bantaeng dengan mitra kerja seluas 1.000 Ha, Bissapu seluas 500 Ha dan Pajukukang seluas 1.500 Ha sebagian incubator dengan membina 10 – 25 ha/kelompok tani, dimana terdpat 3000 Ha terangkul sebagai masyarakat Agribisnis jagung Kabupaten.



Masalah-Masalah
Benih
Ketersediaan benih berlabel mengakibatkan banyaknya benih yang tidak bersetifikat yang digunakan oleh petani di Sulawesi Selatan. Hal ini dicurigai sebagai penyebab turunnya produktivitas yang dihasilkan oleh petani di Sulawesi Selatan. Selain itu tidak menunjang pengadaan bibit yang seragam varietas.
Cara Pemeliharaan
Tindakan pemeliharaan yang dilakukan petani secara umum relative minim kemungkinan hal ini terkait dengan pengetahuan budidaya tanaman yang rendah, modal kurang dan jaminan pasar yang tidak pasti. Salah satu tindakan yang mendapat perhatian petani jagung di Sulawesi Selatan adalah penyiangan.
Ketersediaan Air
Daerah-daerah pengembangan jagung dibagian selatan Sulawesi Selatan pada umumnya mengalami kekeringan pada musim kemarau. Kenyataan ini berakibat pada kondisi tanaman yang merana dan rentan terhadap serangan hama dan penyakit.
Pemupukan
Petani jagung sangat kurang menyisihkan hasil penjualan-penjualan buah jagungnya untuk pengadaan pupuk. Baik pupuk buatan atau pupuk organic sangat jarang diberikan pada tanaman, sehingga tanaman tampak sangat merana setelah panen. Kualitas produksi juga cenderung terus menurun dari tahun ketahun.
Pengendalian hama dan penyakit
Serangan hama dan penyakit pada pertanaman jagung dilapangan menunjukkan gejala yang terus meningkat dari tahun ketahun. Penyebab utama karena tindakan pengendalian yang sangat kurang dan akibat tanaman yang kurang sehat.
Panen.
Pada areal pertanaman yang luas system panen yang banyak dilakukan adalah tebasan. Cara ini dilakukan dengan memanen buah tanpa seleksi sesuai dengan umur panen yang tepat. Dengan demikian jagung matang dan muda dicampur bersama-sama sehingga menimbulkan banyak kerusakan. Masih terjadi fluktuasi produksi antar wilayah dan anatar musim tanam. MT, Oktober – Maret, produksi jagung melimpah sehingga harga turun, sedangkan pada MT, April – September, produksi kurang.
Pasca Panen
Fenomena umum yang didapatkan dilapang menunjukkan masih rendahnya mutu produksi akibat penentuan waktu panen dan cara panen yang tidak tepat. Pemanenan yang dilakukan secara tebasan mengakibatkan tercampurnya buah muda dan matang. Akibatnya tingkat kerusakan pada penyimpanan dan pengangkutan cukup besar.


Pemasaran Hasil
Pemasaran merupakan masalah pelik bagi petani. Harga produksi ditingkat petani sangat ditentukan oleh jarak kebun ke jalan utama dan itikad pembeli. Petani dengan jarak kebun yang jauh hanya memperoleh setengah harga disbanding kebun dekat jalan utama. Selain itu tidak ada kepastian dan alternative lain dalam pemasaran.
Upaya-Upaya yang Telah Dilakukan
Membentuk masyarakat agribisnis jagung sulsel didaerah kabupaten sentra produksi jagung. Merealisasikan program pengembangan system dan usaha agribisnis jagung melalui GERBANGEMAS di Kabupaten Bantaeng sebagai incubator dan Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Jeneponto, Takalar dan Gowa sebagai klaster. Menciptakan suasana yang kondusif dalam membangun konsep kemitraan antara pengusaha pabrik pakan ternak dengan petani sebagai produsen jagung serta pasar domestik dan ekspor


PENGEMBANGAN GARAM DI KABUPATEN JENEPONTO
Garam merupakan komoditi yang potensial karena selain sebagai bahan konsumsi sehari-hari, juga banyak dibutuhkan oleh industri kimia, industri pangan, industri pakan ternak, industri pertambangan dalam pengeboran sumur minyak, industri kulit. Disamping itu garam merupakan bahan yang terbaik untuk fortifikasi kalium iodat (KiO3) dalam menanggulangi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) sehingga perlu dibina dengan intensif agar menghasilkan garam yang berkualitas dan jumlah yang optimal.
Usaha penggaraman di Kabupaten Jeneponto merupakan suatu potensi ekonomi yang sangat besar, karena didukung oleh iklim dan kondisi geografis serta areal penggaraman yang cukup luas, yaitu  567 hektar dengan tenaga kerja sebanyak  2.400 orang yang cukup terampil dalam proses produksi garam sehingga mampu menghasilkan produksi garam sebesar 26.910 ton/tahun.
Lokasi Sasaran
Oleh karena program ini harus dimulai dari kulturnya sampai pada proses pengolahannya dari garam rakyat menjadi garam beriodium yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) maka dipilih lokasi penggaraman yang akan menjadi tempat pelaksanaan Program Gerbang Emas adalah Kelurahan Arungkeke Kecamatan Arungkeke dan Kelurahan Bontomarannu Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto dengan luas areal yang menjadi fokus/target 248 ha dengan tenaga kerja 920 orang.
Arah Pembangunan yaitu :
Peningkatan produktifitas dan kualitas garam rakyat untuk mencapai kualitas yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diperlukan oleh industri garam konsumsi beriodium maupun industri pangan.
Meningkatnya daya saing produksi di era pasar bebas.
Dapat memperluas lapangan kerja
Meningkatkan pendapatan petani/pengusaha garam.


Strategi Pembangunannya yaitu :
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (petani dan produsen garam beriodium).
Meningkatnya peranan kelembagaan Kelompok Tani, Aprogakab.
Pembangunan infrastruktur berupa :
Tempat penyimpanan garam di sentra produksi.
Waduk untuk penyimpanan air tua.
Saluran air yang baik.
Pemakaian sistem pompanisasi dan lain-lain.
Pembangunan industri garam beriodium yang berstandar SNI di sekitar sentra penggaraman.
Mendorong terciptanya kemitraan yang saling menguntungkan diantara pelaku usaha garam mulai dari petani, pedagang, pabrikan dan swalayan.

Kondisi Awal Penggaraman
Kondisi Usaha Tani Garam Rakyat
Luas areal penggaraman seluruhnya di Kabupaten Jeneponto sebesar 567 ha dengan produksi 26.910 ton atau rata-rata 47 ton/ha/hari. Daya saing produksi garam masih sangat rendah, sehingga masih kalah bersaing dengan garam dar Pulau Madura apalagi garam ex impor. Kualitas garam masih sangat rendah yaitu kadar air tinggi, kotoran banyak, Natrium Clorida (NaCl) rendah. Pangsa pasar garam dari Kabupaten Jeneponto, Takalar, Pangkep dan Maros masih sangat terbatas yaitu hanya dapat dipasarkan pada pasar-pasar tradisional di Provinsi Sulawesi Selatan. Permodalan petani sangat terbatas, sehingga pada waktu laik panen biasanya dipersingkat/dipercepat, sehingga kualitas garamnya rendah dan harganya pun menjadi lebih rendah. Kelembagaan petani belum mampu mendukung untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi garam. Sumber daya petani garam masih relatif rendah, sehingga belum mampu memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki untuk mengembangkan usahanya.
Kondisi Usaha Perdagangan dan Distribusi Garam Rakyat
Modal kerja yang dimiliki oleh para pengusaha masih sangat terbatas. Sarana pendistribusian untuk pemasaran garam rakyat kurang/terbatas. Kemitraan antara pedagang dengan pabriknya belum berjalan dengan baik, sehingga masih sulit untuk mendapatkan pangsa pasar.
Kondisi Usaha Industri Garam Beriodium
Modal kerja maupun investasi masih sangat terbatas.
Proses produksi dilakukan dengan menggunakan teknologi yang sederhana/tradisional (penggunaan mesin iodisasi sangat kurang) sehingga mutu dan produktifitasnya rendah.
Produksi garam beriodium pada umumnya belum memenuhi standar komposisi sesuai persyaratan SNI. Kemasan produk garam beriodium pada umumnya belum memenuhi persyaratan teknis sesuai ketentuan yang berlaku. Adanya persaingan harga yang tidak sehat bagi produsen garam beriodium, karena masih beredarnya produk garam beriodium yang tidak memenuhi persyaratan SNI dengan harga yang lebih murah.

Kondisi Yang Diinginkan
Kondisi Usaha Tani Garam Rakyat
Modal usaha petani telah memadai untuk pengembangan usahanya.
Produktivitas lahan penggaraman meningkat dari 45 ton/hektar/musim menjadi 70-80 ton/hektar/musim, khususnya pada areal yang menjadi obyek binaan Gerakan Pembangunan Gerakan Ekonomi Masyarakat (GERBANG EMAS) yang direncanakan yaitu 248 hektar, yaitu di Kelurahan Arungkeke Kecamatan Arungkeke dan Kelurahan Bontomarannu Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto.
Meningkatnya kualitas garam yang diharapkan sesuai SNI dan memenuhi syarat sebagai bahan baku industri garam beryodium, maupun untuk industri lainnya.
Meningkatnya nilai tambah dari harga jual Rp 150 /kg menjadi minimal Rp 200 /kg.
Meningkatnya peran kelembagaan petani untuk mendukung peningkatan kualitas dan produktifitas garam rakyat.
Kondisi Usaha Perdagangan dan Distribusi Garam Beriodium
Modal usaha Pedagang/pengusaha telah memadai untuk pengembangan usahanya.
Sarana distribusi (transportasi, gudang) tersedia.
Terwujudnya kemitraan usaha antara Petani, Pedagang Pengumpul, Koperasi dan Pabrikan yang saling menguntungkan. Terkendalinya garam non iodium yang diperdagangkan secara bebas sebagai garam konsumsi di pasar-pasar tradisional.
Kondisi Usaha Industri Garam Beriodium
Modal kerja dan investasi Pengusaha industri garam beriodium telah memadai untuk pengembangan usahanya. Meningkatnya mutu, produktifitas dan daya saing produk industri garam beriodium berskala kecil dengan penggunaan teknologi tepat guna dan lebih modern. Adanya industri garam beriodium berskala besar dan modern serta mampu menghasilkan garam beriodium yang memenuhi persyaratan SNI. Penerapan sanksi administratif dan sanksi hukum bagi perusahaan industri garam beriodium yang memasarkan produksinya yang tidak memenuhi SNI. Adanya lembaga keuangan/perbankan yang dapat memberikan kredit pembelian garam dengan mudah dan murah.



Kebijakan dan Rencana Kegiatan Untuk Mencapai Kondisi yang Diharapkan
Kebijakan :
Peningkatan kualitas SDM petani garam.
Penerapan teknologi pengolahan garam dengan sistim bertingkat.
Perbaikan sarana produksi (saluran, pompa, waduk dan meja garam).
Adanya fasilitas kredit yang ringan dan terjangkau bagi Petani, Pedagang, Koperasi dan Pabrikan.
Mendorong terciptanya kemitraan dari Petani, Pedagang, pabrikan (APROGAKOB).
Membangun industri garam beriodium yang mampu menghasilkan garam beriodium sesuai SNI.
Rencana Kegiatan :
Sektor Hulu
Pembentukan POKJA pada tingkat propinsi dan kabupaten
Rapat berkala anggota POKJA
Peninjauan ke lokasi binaan
Pembentukan dan pemberdayaan Kelompok Tani
Sosialisasi Program Gerbang Emas
Indentifikasi jenis pembinaan
Pemetaan lokasi binaan
Penyiapan tenaga ahli
Magang petani garam di Pulau Madura dan Gresik
Penerapan teknologi penggaraman
Memfasilitasi petani untuk mendapatkan pinjaman modal dari lembaga keuangan.
Sektor Hilir
Kajian penerapan teknologi pengolahan garam beriodium sesuai SNI
Uji coba garam loka untuk diolah menjadi garam beriodium sesuai SNI
Studi banding aparat dan APROGAKOB ke industri garam beriodium
Persiapan tenaga ahli dalam pengolahan garam beriodium sesuai SNI
Memfasilitasi inspektor dengan lembaga keuangan / perbankan untuk mendirikan pabrik garam beriodium sesuai SNI Kemitraan usaha antara Pabrikan, Petani, Pedagang dan Koperasi.

0 komentar :

Posting Komentar