Recomended

AGAINST CORRUPTION COLLUSION & NEPOTISM

"NEGERI MAKMUR TANPA KORUPSI"

Senin, 11 April 2011

ARAH DAN KEBIJAKAN PERTANIAN Bagian 2

Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, minimal dalam tiga hal. Pertama, akses terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak yang paling asasi bagi manusia. Kedua adalah pangan memiliki peranan penting dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Ketiga, ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat (UU No.7/1996 tentang Pangan), yang dutamakan berasal dari kemampuan sektor pertanian domestic dalam menyediakan bahan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat (PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan).
Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga subsistem, yaitu : (a) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (b) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (c) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan.
Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kemampuan produksi di dalam negeri, peningkatan pengelolaan cadangan, serta impor untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan. Distribusi pangan dilakukan untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan antar wilayah dan waktu, yang memungkinkan masyarakat seluruh pelosok dapat mengakses pangan secara fisik dan ekonomi. Sedangkan konsumsi pangan dibangun dengan meningkatkan kemampuan rumah tangga mengakses pangan yang cukup melalui kegitan ekonomi produktifnya, baik dari usaha agribisnis pangan atau dari usaha lainnya yang menghasilkan pendapatan untuk membeli pangan, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran dalam mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang. Inti permasalahan dalam mewujudkan kemandirian pangan terkait dengan adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari penyediaannya. Permintaan pangan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan pangan meningkat dalam jumlah, mutu, dan perubahan selera. Sementara itu, kapasitas produksi pangan nasional, pertumbuhannya lambat atau malahan stagnan, karena adanya kompetisi pemanfaatan dan penurunan kualitas sumberdaya alam. Apabila persoalan ini tidak dapat diatasi, maka kebutuhan akan impor pangan akan membesar, yang apabila berlanjut dapat mengakibatkan ketergantungan pada pangan impor yang tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara.
Permasalahan lain yang menonjol dalam kemandirian pangan adalah masih adanya kelompok masyarakat (dalam proporsinya cukup besar) yang mempunyai daya beli rendah atau yang tidak mempunyai akses atas pangan karena berbagai sebab, sehingga mereka mengalami kerawanan pangan kronis maupun transien.
Jika kondisi yang mereka alami ini berkelanjutan,maka bangsa ini akan kehilangan potensi sebagian sumberdaya manusianya karena menurunnya kualitas fisik maupun kecerdasannya. Menyikapi permasalahan tersebut, pembangunan ketahanan pangan harus diarahkan pada kekuatan ekonomi domestik, yang mampu menyediakan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk, terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman, dan terjangkau dari waktu ke waktu. Sejalan dengan perubahan lingkungan strategik domestik dan global, sasaran pembangunan ketahanan pangan diarahkan pada kemandirian pangan yang diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya. Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator : (a) mantapnya ketersediaan pangan nasional, yang dicerminkan oleh impor pangan utama di bawah 10 persen dari kebutuhan pangan nasional, (b) menurunnya tingkat kerawanan pangan yang dicirikan oleh pengurangan jumalh penduduk setengahnya, yang mempunyai tingkat konsumsi pangan energi kurang dari 70 persen dari AKG (angka kecukupan gizi), (c) terpenuhinya kebutuhan pangan tingkat rumah tangga, yang direpresentasikan oleh konsumsi energi sebesar 2.000 kkal/kap/hari dan konsumsi protein 52 gram/kap/hari, (d) meningkatnya keanekaragaman konsumsi pangan, dan menurunnya ketergantungan pada`satu jenis pangan tertentu pada`tingkat rumah tangga, sesuai pola pangan harapan sebesar 96,6, yang dicerminkan oleh kontribusi konsumsi maksimal kelompok padi-padian 51,6 persen dan kelompok minyak dan ternak sebesar 10 persen serta kontribusi minimal untuk kelompok umbi-umbian 5,7 persen, pangan hewani 11,2 persen, buah/biji berminyak 3,0 persen, kacang-kacangan 4,8 persen, gula 5,0 persen, sayur dan buah 5,7 persen dan sumber pangan lainnya sebesar 3 persen.
Menyadari keberagaman potensi sumber daya pangan antar daerah dan keberagaman selera serta permintaan pangan yang semakin mengglobal, kemandirian pangan dalam konteks ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui upaya (a) memanfaatkan potensi dan keragaman sumber daya lokal yang dilaksanakan secara efisien dengan memanfaatkan teknologi spesifik wllayah, (b) mendorong pengembangan sistem dan usaha agribisnis pangan yang berdaya saing dan berkelanjutan, (c) mengembangkan perdagangan pangan regional/antar wilayah, (d) memanfaatkan pasar pangan internasional secara bijaksana, (e) memberikan jaminan akses yang lebih baik bagi masyarakat miskin atas pangan yang bersifat pokok.
Pokok-pokok kebijakan ketahanan pangan yang harus mendapat prioritas dalam pembangunan jangka panjang yaitu; (a) mengembangkan sistem pengaturan perdagangan pangan yang adil, (b) melakukan pengendalian konversi lahan, (c) meningkatkan produktivitas usaha pangan, (d) peningkatan pengelolaan konsumsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang, (e) meningkatkan kutu dan keamanan pangan, (f) melakukan antisipasi terhadap dinamika perubahan iklim dan sumberdaya air, (g) meningkatkan pengelolaan pertumbuhan penduduk dan (h) mengembangkan aliansi solidaritas masyarakat mengatasi masyarakat mengatasi kerawanan pangan.
Langkah-langkah kebijakan oprasional pembangunan ketahanan pangan nasional dilakukan dengan: (a) Pengembangan produksi dan ketersediaan pangan, melalui pemeliharaan dan peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, peningkatan produksi pangan domestik meliputi volume, kualitas dan keragamannya, serta pengembangan teknologi; (b) Distribusi dan akses pangan melalui pemanfaatan wahana perdagangan internasional, dilaksanakan dengan menfasilitasi dan mengatur ekspor, impor pangan, yang berorientasi pasar dan berpihak pada keseimbangan kepentingan produsen maupun konsumen; serta peningkatan efesiensi system distribusi pangan; (c) Pengelolaan terhadap permintaan dan konsumsi pangan melalui pengembangan konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang serta; peningkatan penghasilan dan daya beli masyarakat terhadap pangan.
Strategi dan Kebijakan Pembiayaan Pertanian
Modal, baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga keuangan telah berperan penting dalam perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia. Walaupun alokasi pembiayaan untuk kegiatan pertanian ini relatif kecil dibandingkan dengan sektor lain akan tetapi ketersediaan modal khususnya kredit program yang telah diluncurkan sejak kredit pola Bimas ternyata mampu mengantar Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Ketersediaan modal untuk pertanian khususnya kredit lunak saat ini menjadi sangat terbatas setelah berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI antara Pemerintah Indonesia dengan IMF.
Kebijaksanaan tersebut mengisyaratkan pembiayaan pertaniantidak lagi dapatsepenuhnya bergantung pada KLBI, akan tetapi lebih banyak mengandalkan ketersediaan modal yang dimiliki oleh lembaga keuangan perbankan dan non perbankan di dalam negeri maupun luar nrgeri, dengan pola penyaluran yang mengarah pada system pembiayaan komersial. Sehubungan dengan itu diperlukan upaya dalam memfasilitasi pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan yang ada maupun pengembangan sumber pembiayaan baru bagi para pelaku agribisnis, mulai dari petani skala kecil, menengah, koperasi sampai skala besar.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pembiayaan pertanian adalah sebagai berikut:
a. Sistem dan prosedur penyaluran kredit masih rumit, birokratis dan kurang memperhatikan kondisi lingkungan sosio budaya pedesaan sehingga sulit menyentuh kepentingan petani yang sebenarnya;
b. Kemampuan petani dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan sangat terbatas. Hal ini disebabkan lembaga keuangan perbankan dan non perbankan menerapkan prinsip 5-C (Character, Collateral, Capacity, Capital, dan Condition) dalam menilai usaha pertanian yang tidak semua persyaratan yang diminta dapat dipenuhi oleh petani;
c. Usaha di sektor pertanianmasih dianggap beresiko tinggi oleh pihak investor, sehingga menghambat aliran modal investasi maupun modal kerja ke sector pertanian;
d. Skim kredit pada umumnya masih membiayai usaha produksi, belum menyentuh kegiatan praproduksi, pasca produksi, dan pascapanen. Padahal kegiatan off farm ini memberikan tingkat keuntungan yang lebih baik bila dibandingkan dengan kegiatan on farm;
e. Belum berkembangnya lembaga penjaminan usaha di bidang pertanian (Asuransi Pertanian) yang mengakibatkan lembaga keuangan maupun investor enggan untuk menyalurkan dananya pada kegiatan agribisnis;
f. Belum adanya lembaga keuangan yang khusus membiayai sektor pertanian. Hal mengakibatkan dukungan pembiayaan sektor pertanian tidak sesuai dengantuntutan pembangunan nasional yang memprioritaskan pertanian sebagai tulang Punggun perekonomian nasional; dan
g. Belum berkembangnya LembagaKeuangan Pedesaan/ Lembaga Kredit Mikro di pedesaan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kemampuan masyarakat untuk menabung dengan jumlah modal yang keluar pedesaan (capital outflow).
Strategi yang ditempuh dalam rangka mengembangkan pembiayaan pertaniana adalah sebagai berikut :
a. menyempurnakan kebijaksanaan pembiayaan yang ada sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas petani dan pelaku agribisnis terhadap sumber pembiayaan;
b. mengembangkan pola subsidi bunga kredit agar kredit perbankan terjangkau oleh petani kecil di pedesaan;
c. mengembangkan pola penjaminan kredit dan pola pendampingan bagi UMKM agribisnis;
d. mengembangkan pembiayaan pola bagi hasil/syariah untuk pembiayaan sektor pertanian;
e. Mengembangkan lembaga keuangan khusus pertanian dan lembaga keuangan mikro (LKM) pedesaan untuk pembiayaan UMKM agribisnis;
f. mengembangkan skim kredit yang tersedia menjadi skim kredit agribisnis yang mudah diakses oleh petani;
g. mensosialisasikan sumber-sumber pembiayaan yang telah ada;
h. meningkatkan kerja sama dengan lembaga keuangan dan negara donor di luar negeri untuk pengembangan pembiayaan agribisnis;
i. meningkatkan partisipasi/memobilisasi dana masyarakat untuk pengembangan agribisnis.

Strategi dan Kebijakan Pengembangan Ekspor Produk Pertanian
Target ekspor komoditas pangan, perkebunan, dan peternakan tahun 2005 diharapkan dapat mencapai 7,8 miliar dollar AS. Nilai expor diharapkan tumbuh minimal 5% per tahun, sehingga tahun 2009 total ekspor dapat mencapai 12 miliar dollar AS. Strategi
pengembangan ekspor yang perlu ditempuh adalah:
Meningkatkan daya saing produksi dalam negerimelalui:
a) Pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian untuk mampu mengakses teknologi pengolahan hasil dan informasi pasar,
b) Menumbuh kembangkan industri pengolahan hasil pertanian di perdesaan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil pertanian, menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c) Meningkatkan volume, nilai dan keragaman produk ekspor baik segar maupun olahan,
d) Penumbuhan kawasan agroindustri melalui Pelayanan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P3HP),
e) Pengembangan sarana dan prasarana pasar termasuk cold storage dan packing house,
f) Harmonisasi tarif, pajak/pungutan ekspor & standardisasi mutu

Peningkatkan pangsa pasar ekspor melalui:
a) Pengembangan informasi pasar & market intelligence,
b) Penguatan diplomasi, negosiasi dalam membuka pasar,
c) Perluasan akses pasar melelui promos dan pengembangan Free Trade Area (FTA),
d) Peningkatan kerjasama internasional,
e) Peningkatan kemampuan negosiasi dan diplomasi (sekretariat WTO, training, magang), dan
f) Sosialisasi hasil-hasil negosiasi & diplomasi
Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumberdaya Lahan Pertanian
Sektor pertanian dihadapkan kepada berbagai masalah, a. l. sempitnya lahan pertanian per kapita penduduk Indonesia (900 m2/kapita), makin banyaknya petani gurem dengan luas lahan garapan < 0,5 ha/keluarga, cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dan tidak amannya status penguasaan lahan (land tenure). Di sisi lain, terdapat sekitar 32 juta ha lahan yang sesuai dan berpotensi dijadikan lahan pertanian, untuk kepentingan domestik dan ekspor non migas. Oleh karena itu, revitalisasi pertanian perlu dipercepat a.l. melalui:
(i) kompensasi konversi lahan sawah,
(ii) (ii) pembukaan lahan pertanian baru, dan
(iii) (iii) penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan sebagai penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan keluarga tani.
Pembangunan pertanian Indonesia bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, menyediakan lapangan kerja, mensejahterakan petani, dan meningkatkan devisa. Tujuan tersebut belum tercapai disebabkan oleh:
a) Terus meningkatnya kebutuhan terhadap produk pertanian, sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk sekitar 1,6 persen per tahun;
b) Sempitnya penguasaan lahan pertanian dan meningkatnya jumlah petani gurem. Secara nasional petani dengan lahan garapan < 0,5 ha, meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003 dengan rata-rata peningkatan sekitar 2,4 persen per tahun;
c) Tingginya laju konversi lahan pertanian. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun;
d) Gap produktivitas pertanaman dengan potensinya. Produktivitas rata-rata nasional padi sawah, jagung, dan kedelai baru mencapai 4,6; 3,0 dan 1,2 ton/ ha. Dengan penerapan inovasi teknologi, produktivitas ini dapat ditingkatkan masing-masing sampai 5,4; 4,5; dan 2 ton/ha;
e) Lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan, sehingga belum dapat menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri pedesaan. Selain itu, lemahnya kelembagaan ini berakibat pada tidak efisiennya sistem pertanian, dan rendahnya keuntungan yang diterima petani; dan
f) Sektor pertanian dipandang tidak atraktif dibanding sektor lain, menyebabkan derasnya arus urbanisasi angkatan kerja sehingga meningkatkan pengangguran di perkotaan.
Dari sisi sumberdaya lahan terbuka peluang besar untuk pembukaan lahan pertanian melalui (1) pemanfaatan lahan terlantar, yang dewasa ini diperkirakan mencapai luas 9,7 juta ha, dan (2) pembukaan lahan baru untuk pertanian. Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk perluasan pertanian, namun memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi dan teknis, mengingat lahan tersebut diklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik adat, atau milik pribadi.
Kebijakan pertanian 5 tahun ke depan diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan meningkatkan produksi berbagai komoditas unggulan, dengan memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan usaha serta kesejahteraan petani. Selain itu, konversi lahan sawah ke non pertanian yang sekarang berada pada angka 110.000 ha per tahun (berdasarkan data antara 1999-2002), diharapkan dapat diturunkan menjadi 10.000 ha/tahun sejak 2009 secara bertahap mendekati nol.
Program pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan melalui:
a. pemanfaatan lahan terlantar (lahan alang-alang dan semak belukar) di 13 propinsi,
b. pengendalian konversi lahan sawah
c. perluasan areal sawah di luar Pulau Jawa,
d. perluasan areal pertanian lahan kering,
e. peningkatanluas penguasaan lahan pertanian melalui pendekatan keagrariaan, dan
f. penguatan kelembagaan yang kondusif untuk menunjang agroindustri pedesaan.
Tujuan pemanfaatan lahan terlantar adalah memfasilitasi masyarakat untuk menggunakan lahan tersebut untuk pertanian, dengan bimbingan teknis, bantuan langsung, dan kredit, disediakan oleh pemerintah. Peta lahan terlantar tersebut sudah tersedia dalam skala 1 : 50.000. Model pengembangan yang dipilih dalam pemanfaatan lahan terlantar adalah pola pengembangan agroindustri pedesaan dengan ciri utama sebagai berikut:
a) berorientasi pada permintaan pasar (lokal, regional dan internasional);
b) komoditas yang dipilih disesuaikan dengan potensi sumberdaya lahan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, seperti padi, jagung, kedelai, sayuran dan ternak, serta tanaman tahunan;
c) areal pengembangan diprioritaskan pada wilayah dengan kendala minimum.
Pengendalian konversi lahan sawah diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum bahwa bagi setiap pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya.
Pelaksanaan peraturan tersebut didasarkan atas peta-peta Lahan Sawah Utama yang sudah mencakup pulau Jawa, Bali dan Lombok.
Luas lahan yang sesuai untuk perluasan lahan sawah berdasarkan peta skala 1:1.000.000, tersedia sekitar 16 juta ha, dengan sebaran paling luas di Papua, Sumatra, dan Kalimantan. Pada umumnya lahan basah tersebut merupakan lahan rawa (pasang surut dan lebak). Untuk operasional perluasan lahan sawah masih diperlukan peta pada skala lebih detail (1:50.000). Berdasarkan proyeksi kebutuhan beras tahun 2009 diperlukan penambahan produksi beras sebanyak 1,8 juta ton beras atau setara dengan 3 juta ton GKG, atau perluasan areal seluas 600.000 ha dalam 5 tahun ke depan, apabila tidak ada konversi lahan. Dalam pelaksanaanya perluasan lahan sawah akan disesuaikan dengan ketersediaan dana.
Lahan yang potensial untuk perluasan areal tanaman pangan sudah tidak tersedia (potensi ekstensifikasi negatif), karena sudah digunakan untuk tegalan, perkebunan, dan sebagian lagi berupa lahan terlantar. Dengan demikian, pengembangan areal tanaman pangan hanya dapat dilakukan pada lahan terlantar. Lahan yang secara bio-fisik sesuai untuk perluasan tanaman tahunan (buah-buahan, dan tanaman perkebunan) masih cukup luas (25 juta ha). Lahan ini dapat dimanfaatkan untuk areal perkebunan rakyat untuk komoditas kakao (Sulsel, Sulteng, Sultra) dan sawit (Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan, Papua), dan buah-buahan tropika. Sebagian lahan yang berpotensi untuk tanaman tahunan tersebut berstatus tanah negara.
Untuk mencapai kelayakan usahatani per kepala keluarga (KK), luas lahan usahatani yang diperlukan adalah sekitar 5 ha per KK (3 ha komoditas perkebunan dan pakan ternak, 1,5 ha tanaman pangan, dan 0,5 ha pekarangan dan ternak), dengan menggunakan alsintan. Usaha tani ini diarahkan untuk mendorong berkembangnya agroindustri pedesaan yang atraktif, dicirikan dengan luasnya lahan garapan (5 ha), penggunaan alsintan, ketersediaan sarana produksi, sarana pengolahan hasil pertanian, ketersediaan kelembagaasn perdesaan, serta pemberdayaan pemuda dan perempuan tani. Untuk implementasi kegiatan ini diperlukan sertifikasi keagrarian yang jelas. Tanah negara yang berpotensi untuk perluasan pertanian (terutama yang hutannya sudah dibuka dan sudah digunakan selama lebih dari 20 tahun oleh penduduk setempat, perlu diatur sertifikasi hak guna usaha jangka menengah (10 tahun) dan jangka panjang (30 tahun) untuk merangsang pengembangan agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna tanah ini dapatdiperpanjang dan diwariskan kepada keturunannya, apabila lahan dikelola secara baik dan ramah lingkungan.
Pengembangan kelembagaan di setiap lokasi agroindustri pedesaan dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat, dengan melibatkan berbagai departemen terkait dan swasta. Kelembagaan yang dimaksud termasuk lembaga perkreditan, lembaga input,embaga emasaran, dan lembaga penyuluhan. Pembukaan lahan ertanian baru memerlukan kerjasama antar departemen pemerintah, swasta dan masyarakat tani, yang terkoordinasidengan baik.

PEMBANGUNAN SULAWESI SELATAN

Sulawesi selatan merupkan salah satu propinsi di Kawasan Timur Indonesia memiliki potensi ekonomi cukup besar. Secara geografis Sulawesi Selatan terletak di tengah kepulauan Indonesia yang cukup strategis untuk melayani ekonomi kawasan barat dan kawasan timur Indonesia.
Visi Sulawesi Selatan
“Mewujudkan Sulawesi Selatan menjadi Wilayah terkemuka di Indonesia melalui kemandirian lokal yang bernafaskan keagamaan”
Misi Sulawesi Selatan :
“Sulawesi Selatan menjadi lebih maju dan terkemuka dalam penerapan otonomi dengan berorientasi pada kepemerintahan yang baik”
I. Rencana Strategis Sulawesi Selatan
1. Peningkatan Kualitas Hidup Manusia
Programnya meliputi :
a) peningkatan kualitas pendidikan
b) peningkatan penghayatan agama
c) peningkatan derajat kesehatan dan gisi
d) pengembangan buudaya dan kesenian
e) pengembangan ketanagakerjaan
2. Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wiolayah.
Programnya meliputi :
a) peningkatan daya saing produk unggulan
b) pemantapan ekonomi kerakyatan
c) pemantapan ketahan pangan
d) pemantapan struktur ekonomi daerah
e) penguatan integrasi ekonomi sulawesi
f) penataan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan yang berkelanjutan
3. Peningkatan Kulitas Lingkungan Kehidupan Bermasyarakat.
Programnya meliputi :
a) penataan system legislasi daerah
b) peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat
4. Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat
Programnya meliputi :
a) Penelitian, pengkajian dan pengembangan
b) Pengembangan perencanaan
II. Rencana Strategis Pertanian
Pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura diarahkan pada program ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Arah kebijakan ini sesungguhnya sejalan dengan dinamika lingkungan strategis yang memperlihatkan kecenderungan perubahan yang semakin cepat. Untuk itu diperlukan adanya suatu perencanaan strategis dan bersifat konperehensif dengan dukungan keragaman sumberdaya alam dan sumberdaya manusia sehingga dalam pengelolaannya mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Sector pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura merupakan bagian integral dari pembangunan daerahprovinsi Sulawesi Selatan.
Visi Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan hortikultura Sulawesi Selatan :
“Mewujudkan Pertanian tanaman pangan dan hortikultura lebih maju, tangguh dan efisien berorientasi agribisnis berwawasan lingkungan melalui pendekatan kemandirian local”.
Visi Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan hortikultura Sulawesi Selatan :
a) meningkatkan daya saing komoditas tanaman pangan dan hortikultura menghadapi pasarglobal
b) memberdayakan masyarakat taniuntuk mengembangkan system usaha agribisnis
c) mengembangkan inovasi teknologi spesifik lokasi dan ramah lingkungan yang mendukung pembagunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura yang berkelanjutan melalui pendekatan kemandirian local berbasis pedesaan
d) mendorong peran Sulawesi Selatan sebagai pusat pelayanan pertanian tanaman pangan dan hortikultura di kawasan timur Indonesia.
Kebijakan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan hortikultura Sulawesi Selatan dijabarkan dalam tiga program pokok :
1. program peningktan ketahanan pangan
2. program pengembangan system dan usaha agribisnis
3. program peningkatan perencanaan pengembangan tanaman pangan dan hortikultura
III. Rencana Strategis Perkebunan
Arah dan kebijakan pengembangan subsektor perkebunan dititk beratkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia petani, peningkatan daya saing produk uggulan pemantapan ekonomi kerakyatan, pengembangan pangan pada areal perkebunan, pengembangan agribisnis berbasis perkebunan, dan pemberdayaan kelembagaan perkebunan.
Sehubungan dengan strategi dan kebijakan pembangunan perkebunan propinsi Sulawesi Selatan, maka sasaran pembangunan perkebunan ke depan adalah terbentuknya kawasan agribisnis perkebunan yang utuh yang disebut kawasan industri masyarakat perkebunan (KIMBUN) di setiap lokasi pengembangan dan sentra-sentra produksi dengan asas kebersamaan ekonomi melaluli gerakan pengembangan ekonomi masyarakat ( Gerbang Emas). Dengan demikian petani perkebunan sebagai anggota masyarakat melalui koperasi, mempunyai peluang untuk memanfaatkan potensi ekonomi baik dalam kegiatan “on Farm” maupun dalam kegiatan “on farm” seperti pengolaan hasil, pemasaran dan lain-lain. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan program-program yang dapat mendukung tercapainya sasaran yang telah ditetapkan.
Visi Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan
”Terwujudnya Masyarakat Perkebunan yang maju dan mandiri”
Programnya meliputi :
a. Menciptakan iklim yangkondusif untuk pengembangan usaha perkebunan
b. Memberdayakan masyarakat perkebunan
c. Mengembangkan perkebuinan yang berbudaya industri
d. Mendorong masyarakat perkebunan untuk mandiri
Sasaran Pembangunan Pertanian Perkebunan :
a) terbentuknya kawasan sentra produksi komoditas unggulan
b) terbentuknya kawasan industri masyarakat perkebunan (kimbun)
c) meningkatkan pendapatan petani perkebunan
d) terbentuknya kelompok tani dan koperasi primer yang maju dan mandiri
e) meningkatnya produksi komoditas unggulan (kakao, kelapa, kapas, lada, kopi, jambu mete, kelapa sawit, tebu, cengkeh, dan vanili)
Untuk mencapai sasaran ditetapkan strategi dan kebijakan meliputi :
a) Peningkatan Kualitas Hidup Manusia
b) peningkatan daya saing produk unggulan
c) pemantapan ekonomi kerakyatan
d) pemberdayaan Masyarakat Pertanian
Programnya meliputi :
a) pembinaan dan pengembangan SDM dan Penatausahaan
b) Pengembangan sumberdaya sarana dan prasarana
c) Perlindungan tanaman dan asset perkebunan
d) Peningkatan mutu dan pemesaran hasil pertanian
e) Pengembangan agribisnis berbasis perkebunan
f) Peningkatan ketahana pangan di areal perkebunan
g) Pemberdayaan kelembagaan masyarakat perkebunan


bersambung

0 komentar :

Posting Komentar